Silsilah Fiqih Doa dan Dzikir No: 62
Pada pertemuan yang telah lalu, kita sudah membahas beberapa keistimewaan kalimat takbir. Di mana kalimat mulia ini disyariatkan untuk senantiasa kita baca di dalam banyak ibadah. Antara lain setelah selesai puasa Ramadhan. Ketika ibadah haji dan di hari raya Idhul Adha. Juga di dalam shalat lima waktu. Di awalnya dan hampir di setiap gerakan di dalamnya kita mengucapkan takbir.
Apabila seluruh takbir yang kita baca sehari semalam, di shalat lima waktu, juga dalam shalat sunnah rawatib dan dzikir sesudah shalat fardhu, kita hitung semuanya, ternyata berjumlah 320 kali! Itu belum termasuk dzikir yang tidak terikat waktu, yang diucapkan oleh seorang muslim dalam kesehariannya.
Hal ini menunjukkan betapa istimewanya kalimat takbir di dalam agama kita. Oleh karena itu tidak heran bila kalimat mulia ini kita ucapkan dalam sehari ratusan kali, bahkan tak terhitung.
Di antara dalil yang menunjukkan keistimewaan kalimat takbir, adalah hadits yang berisikan pensyariatan mengucapkan takbir di saat kita melewati jalan yang menanjak.
Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma bertutur,
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَجُيُوشُهُ إِذَا عَلَوُا الثَّنَايَا كَبَّرُوا وَإِذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا فَوُضِعَتِ الصَّلاَةُ عَلَى ذَلِكَ.
“Adalah Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan pasukannya apabila menanjak jalan; mereka mengucapkan takbir. Dan bila menurun; mereka bertasbih. Bacaan dalam gerakan shalat pun diatur seperti itu”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.
Para ulama menjelaskan hikmah di balik pengucapan kalimat takbir saat jalan menanjak dan kalimat tasbih saat jalan menurun. Kata mereka, kita bertakbir saat menanjak melewati jalan yang tinggi, sebab kondisi itu selaras dengan pengagungan Allah yang maha tinggi. Sebaliknya kita mengucapkan tasbih saat menuruni jalan yang rendah, karena hal itu selaras dengan pensucian Allah dari sifat-sifat yang rendah dan jelek.
Begitu pula dalam shalat kita. Dzikir yang kita ucapkan dalam gerakan-gerakan di dalamnya sesuai dengan hal di atas. Saat kita mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, juga saat bangkit dari sujud kita mengucapkan takbir. Karena gerakan-gerakan tersebut mengarah kepada sesuatu yang tinggi. Sebaliknya ketika kita sedang ruku’ dan sujud; merendahkan anggota tubuh kita, kita mengucapkan tasbih. Sebab kalimat ini mengandung pensucian Allah dari sifat-sifat buruk yang rendah.
Jadi, kalimat takbir bukanlah kalimat yang hanya diucapkan dengan lisan belaka, namun kalimat yang amat sarat dengan makna. Takbir yang sejati adalah takbir yang diucapkan seorang hamba seraya ia mengagungkan Allah ta’ala dengan pengagungan lisan, hati dan perbuatan. Alias ia berusaha menjalankan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya.
Itulah hakikat takbir yang sebenarnya. InsyaAllah pada pertemuan mendatang kita akan membahas lebih lanjut kandungan makna takbir. Semoga bermanfaat…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 20 Dzulqa’dah 1435 / 15 September 2014
Diringkas oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari kitab Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (I/281-284) dengan berbagai tambahan.
Download Artikel “Kutamaan Kalimat Takbir Bag-2”